Rabu, 09 Maret 2011

Tinjauan Dampak Komputer terhadap Masyarakat

Oleh: Wahyu Adi Setyanto
Abstrak
Perkembangan komputer yang terhubung ke jaringan Internet sedemikian pesatnya. Hampir tak ada sisi kehidupan manusia yang tak tersentuh lewat Jalan Tol Informasi ini. Kondisi yang mana membuat kita melupakan 2 masalah pokok yang berhubungan erat dan membutuhkan solusi dengan segera: perlindungan privasi dan membangun kepercayaan antara individu dengan komputer, masyarakat dengan komputer, serta sesama anggota masyarakat yang termediasi oleh komputer. Makalah ini memaparkan hubungan kedua isu tersebut, serta solusi apa yang mungkin dapat kita terapkan untuk mengatasinya.

Pendahuluan
Masih terbayang dalam benak kita, bagaimana kondisi masyarakat kita saat Internet belum begitu berkembang. Komputer hanyalah media otomasi pekerjaan administratif rutin, sedikit (atau banyak...?) sebagai media hiburan, penyimpanan data, atau menyelesaikan aktivitas khusus semacam desain. Jaringan komputer pun terbatas pada lingkungan kantor saja. Saat itu, kita sudah merasakan manfaat nyata komputer, dan mungkin dapat dengan bangga mengatakan “komputer adalah asisten pribadi saya”.
Saat ini, di mana tuntutan masyarakat telah demikian berkembang, membawa kecenderungan perkembangan jaringan komputer memiliki skala yang lebih luas dari yang dapat kita bayangkan sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Jumlah komputer yang terhubung ke Internet menjadi sedemikian banyaknya. Masyarakat mulai membentuk komunitasnya sendiri di dunia maya, paralel dengan kehidupan keseharian mereka. Perkembangan terbaru dunia komputer dan Internet pun mereka cari untuk mengeksploitasi manfaatnya. Singkatnya, urusan yang satu ini menjadi sedemikian penting untuk dilakukan, semacam kebutuhan pokok sehari – hari bagi mereka.
Aspek teknologi menjadi pertimbangan utama sehingga aspek sosial berkomputer dan berinternet cenderung tesisihkan. Artinya, masyarakat kita belum memiliki kesiapan secara kultural untuk menghadapi serbuan nilai – nilai baru yang tadinya tidak terlalu merisaukan. Minimnya antisipasi terhadap hal ini memberikan kita 2 masalah mendasar yang harus segera diatasi. Masalah yang penulis yakini memiliki korelasi satu sama lain.
Pertama, isu privasi menjadi semakin penting dan membutuhkan perlindungan yang proporsional. Masalah yang krusial mengemuka adalah sejauh mana batasan privasi individu dalam konteks ruang dan waktu serta nilai sosial yang diyakini masyarakat, siapa yang berhak menegakkan aturannya, kendala perlindungan privasi dalam perspektif teknologi, kondisi apa yang menggugurkan privasi seseorang / kelompok.
Kedua, membangun ‘segitiga kepercayaan’ antara individu dengan komputer, komputer dengan masyarakat serta individu dengan masyakarat melalui mediasi komputer. Meskipun kendala ruang dan waktu telah diklaim teratasi oleh jaringan Internet, namun dalam interaksi sosial tetap membutuhkan aspek psikologis setiap pelaku, konteks ruang dan waktu masing – masing, aspek historis serta kebutuhan akan media komputer dan Internet yang layak dipercaya.
Isu Privasi dan Perlindungannya
Menurut Standing Committee on Human Rights and The Status of Persons with Dissabilities, privasi adalah “inti dari nilai manusia yang menjiwai perlindungan martabat dan otonomi manusia”. Sedangkan Profesor Alan Westin, pakar hukum dan pemerintahan dari University of Columbia mendefinisikan privasi sebagai “hak individu untuk menentukan informasi pribadi yang boleh atau tidak boleh diketahui publik”. Dalam perspektif sejarah, perumusan batasan ini sampai sekarang masih menyisakan perdebatan yang cukup hangat. Pemerintah sebagai pihak yang kontra mengedepankan alasan – alasan keamanan negara sebagai pembenaran terhadap aktivitas pengawasan dinamika masyarakat beserta atribut informasi yang melekat padanya. Senada dengan pemerintah, kalangan bisinis pun ingin memperoleh manfaat semaksimal mungkin atas informasi tentang para pelanggannya sebagai imbalan atas jasa yang mereka tawarkan.
Pihak pro yang diwakili oleh ahli hukum dan masyarakat yang peduli atas hak – hak mereka, mengambil sudut pandang privasi sebagai sebuah kekayaan intelektual atau hak milik pribadi. Hak ini setara dengan hak – hak individu lainnya dalam konteks negara demokrasi, seperti hak mengeluarkan pendapat, hak untuk menikmati hidup layak, yang dalam hal ini dapat dipersepsikan juga sebagai hak untuk menyendiri (the right to be left alone) serta melindungi kepentingan pribadinya dari gangguan eksternal, dalam batas tertentu. Batas – batas yang samar dalam argumen kedua kubu membawa perdebatan menuju pada resolusi yang lebih moderat: keseimbangan antara hak asasi dengan peredaran informasi secara bebas.
Wujud konkritnya adalah disahkannya peraturan yang melindungi hak privasi individu. Misalnya, Amerika Serikat memiliki antara lain Privacy Act (1974), Electronic Communications Privacy Act (1986), dan Childrens’s Online Privacy Protection (1994), sementara Uni Eropa memiliki European Privacy Directive 8 (1998). Dampak signifikannya terhadap perlindungan privasi baru akan terasa bilamana hukum menjadi rujukan utama dalam penanganan masalah sosial. Penegakan hukum yang konsisten sangat berarti dalam menjembatani asimetri transaksi sosial antara (sekelompok) individu di satu sisi dengan pihak – pihak pengguna informasi publik di sisi lain. Posisi tawar masyarakat akan sedikit meningkat. Namun demikian, penegakan hukum saja tidaklah mencukupi selama para pelaku bisnis masih saja berkeinginan mengeksploitasi hak – hak individu yang telah dilindungi dengan motifnya masing – masing. Dalam perspektif pelaku, dibutuhkan suatu niat baik untuk itu. Sementara dari sisi masyarakat, diperlukan mekanisme kontrol. Alasan lain adalah model penegakan hukum formal yang dipandang terlalu kaku dan lama prosesnya dibandingkan pergerakan arus informasi yang sedemikian cepat. Atas kendala – kendala ini, hadir strategi berikutnya: self-regulation.
Self-regulation (swa-regulasi) merupakan mekanisme menyerahkan penegakan aturan perlindungan privasi kepada mereka yang justru berpeluang melakukan pelanggaran privasi individu. Efek yang diharapkan dari penerapannya adalah respon yang cepat terhadap perkara yang menjurus kepada penyerangan privasi. Secara abstrak, hal ini diwujudkan dalam penggalian kode etik dalam berbisnis, yang mencerminkan bagaimana mereka mencapai tujuan bisnis yang ditetapkan. Bagaimana mereka menggali nilai – nilai perusahaan yang diyakini serta memasukkannya ke dalam kultur perusahaan. Secara konkrit, kode etik tersebut diimplementasikan secara integral ke dalam kebijakan strategis, taktis dan operasional perusahaan tentang bagaimana mereka mengelola informasi atas masyarakat secara sah dan etis. Dengan transparansi yang telah menjadi ciri era informasi, masyarakat sendirilah yang akan mengawasi sejauh mana konsistensi perusahaan dalam melaksanakan kode etiknya. Sangat mungkin terjadi, perusahaan yang terbukti tidak dapat dipercaya dalam mengelola atribut informasi yang dimiliki masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan berujung pada hilangnya sumber penghasilan mereka.
Hampir serupa dengan legislasi, konsep swa-regulasi pun memerlukan 3 elemen penting: seperangkat aturan privasi yang bersumber dari praktek – praktek pengelolaan informasi yang adil, metode penegakannya, serta mekanisme penengahan konflik yang independen. Agar penerapannya berlangsung dengan lancar, diperlukan beberapa persyaratan. Pertama, dibutuhkan penerapan kode etik perlindungan privasi bersama dalam suatu sektor bisnis, sehingga tidak ada ketimpangan antarperusahaan yang dapat memicu persaingan tak sehat. Kedua, penegakan standar privasi harus dilakukan oleh lembaga independen di luar sektor bisnis tersebut. Terakhir, keterbukaan aturan dan implementasi syarat pertama dan kedua bagi masyarakat.
Secara umum, kode etik yang dapat dipakai untuk menjaga konsistensi perusahaan / organisasi dalam melindungi privasi adalah bahwasannya mereka harus:
1. bertanggung jawab terhadap semua informasi perseorangan yang mereka miliki.
2. mengetahui tujuan pengumpulan dan pemrosesan informasi tersebut.
3. mengumpulkan informasi dengan sepengetahuan dan ijin dari pemiliknya (kecuali dalam kondisi tertentu yang telah disepakati).
4. membatasi kuantitas informasi sejumlah yang diperlukan dalam melaksanakan tujuan di atas.
5. menghindari pemakaian informasi yang menyimpang dengan tujuan semula.
6. menyimpan informasi dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan kebutuhan mencapai tujuan.
7. memastikan informasi tersebut akurat, lengkap dan terkini.
8. menjaga / melindungi informasi tersebut dengan sebaik – baiknya.
9. bersifat terbuka dalam kebijakan dan prakteknya.
10.mengijinkan subjek data untuk mengakses data miliknya serta mengubahnya bila diperlukan.
Pada bagian berikutnya, kita akan membahas bagaimana membangun kepercayaan dalam dunia internet dalam kerangka permasalahan perlindungan privasi dan proses interaksi sosial yang sehat.
Membangun Kepercayaan dalam Dunia Maya
Apa yang kita dapat dari perlindungan privasi secara proporsional adalah adanya syarat perlu bagi terciptanya hubungan saling percaya antarindividu dalam masyarakat yang termediasi komputer. Hubungan tersebut harus melalui berbagai tahapan yang juga dimulai dari individu masing – masing. Pada saat seseorang memutuskan untuk berinteraksi melalui e-mail dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, sesungguhnya telah terbentuk asumsi – asumsi awal dalam pikirannya bahwa pihak lain memiliki kebajikan, jujur, kompeten dan dapat diperkirakan tabiatnya. Selanjutnya proses mengembangkan kepercayaan akan bergantung pula kepada pengalaman dari interaksi sebelumnya, juga faktor – faktor sebagai berikut:
1. Kondisi kerawanan sosial yang hadir bersamaan dengan asumsi bahwa kepercayaan akan menghadirkan keamanan yang diinginkan.
2. Resiko yang dihadapi kedua pihak.
3. Interdependensi dalam relasi sosial kedua pihak.
Oleh karena sifat subjektifnya serta melibatkan sistem emosi dan cara berpikir manusia yang juga kompleks, tidaklah mudah untuk menguraikan secara utuh aspek pengendalian rasa saling percaya dalam komunitas dunia maya. Namun demikian, beberapa peneliti meyakini bahwa percaya dan curiga merupakan dua variabel bebas dalam suatu relasi sosial, ketimbang dua buah kutub dari spektrum yang sama. Mereka mengembangkan matriks percaya-curiga (trust and distrust matrix) untuk mengenali karakteristik dua variabel tersebut dalam suatu interaksi sosial.

Kesimpulan dan Saran
Mekanisme perlindungan privasi serta proses membangun interaksi saling percaya dalam hubungan sosial termediasi komputer memiliki benang merah yang sama. Dengan menempatkan isu keamanan dan kepedulian terhadap privasi individu dalam prioritas yang penting, maka terdapat satu syarat perlu bagi terwujudnya masyarakat termediasi komputer dalam relasi sosial yang saling percaya satu sama lain. Agar menjadi syarat yang cukup, syarat ini masih harus dilengkapi dengan dukungan teknologi yang memungkinkan. Oleh karena itu, makalah ini tidak dapat terpisahkan dari makalah serupa yang mengupas aspek teknologi guna menunjang keamanan berinteraksi sosial lewat mediasi komputer dan internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar